Rabu, 19 Januari 2011

Allah, Mohon Ridhoi.

Dahulu aku berenang-renang tenggelam dalam perut ibunda. Huh. Penantianku panjang. Hampir satu tahun. Tak pernah kurasakan nafas udara disana. Apalagi pegal. Namun aku lemah. Tapi ibunda melindungi. Dan aku pula tak pernah tahu dan sadar ketika ku keluar belitan masalah sudah siap membentang. Beruntung jika mereka muncul di sana. Banyak sekali masalah bisa datang sebelum itu.

Aku keluar tak punya apa-apa. Apalagi daya. Sekali lagi, ibunda melindungiku. Ah. Andai beragam kata telah kupunyai saat itu. Ucapku, Allah Maha Besar. Telah turunkan pahlawan bagi semua calon pahlawan. Telah karuniakan cinta dan kasih sayang lewatnya. Telah tanamkan nikmat kehidupan bagi kami berdua. Segala puji untuk-Nya.

Ibunda. Puisi untukmu sudah banyak sekali. Bahkan ribuan. Doa untukmu juga tidak kalah. Bahkan setiap waktu. Wajar sekali, Ibunda. Wajar. Puisi bagi seorang pujangga adalah ungkapan dalam dari lubuk jiwa. Doa juga adalah pamungkas seseorang untuk larut dalam tangisan. Lagi-lagi juga perasaan. Hati jadi banyak bicara. Ketika mulut tak mampu, tangan tak kuasa. Cinta berwujud bukan mainan. Ini pekerjaan yang sesungguhnya. Begitulah, ibunda.

Ibunda. Tangisanku waktu kecil pasti buatmu begitu kesal. Apalagi aku menangis tak sendirian. Kembaranku pun menangis di saat yang bersamaan. Aku bayangkan tangisan kami seperti alunan melodi musik kasar. Aku malu. Karna cuma itu cara aku khawatir kehilangan kasih sayangmu.

Ibunda. Kini aku telah beranjak usia kepada dua. Umurku sudah lebih 20 tahun. Aku berpikir untuk terlepas. Tetapi engkau masih anggapku asuhan yang masih akan hilang jika dilepas. Aku tidak masalah. Aku tahu keterbatasanku. Aku juga tahu kasih sayangmu. Tapi inilah kesempatanku memilih menjadi dewasa. Aku ingin cepat-cepat membalas semua yang telah engkau lakukan. Ya. Kebahagianmu itu bahagiaku. Allah, mohon ridhoi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar