Selasa, 12 Maret 2013

Cita Rasa yang Berbeda..

Dalam cita rasa sebagai pejuang, meninggalkan itu lebih menyakitkan daripada ditinggalkan. Begitu kata pejuang. Orang yang sering merasakan yang tidak semua merasakan. Orang spesial.

Pejuang merasa dalam cita rasanya, selalu ada cinta. Cinta yang menggelorakan seluruh panca indra nya menjadi tidak begitu bernyawa. Benar, cinta yang membutakan! Buta dari logika ketidaknyamanan, duka, kesedihan, yang berujung putus asa. Tuli? Benar! Dari bisikan untuk berhenti. Atau untuk berlari ke tepian danau dan berenang bersama ikan-ikan buas yang bercorak manis. Kebas? Tentu saja! Sudah terlampau penuh peluru yang meronggai tubuhnya.

Pejuang itu tampak cacat ya?

Sejatinya, tidak.

Kamis, 27 Desember 2012

Cerpen: Takdir Tidak Salah..

"Tidak bisa dimengerti! ".

"Mengapa mereka tega membiarkan pasien itu terlantar begitu saja?!", keluh seorang ibu-ibu muda yang juga tengah berada di sebuah Rumah Sakit.

Pasien itu merujuk pada seorang bocah yang terlambat masuk kamar operasi karena dikatakan penuh. Suasana begitu ramai, ditambah ada yang sangat berisik meraung-raung kesakitan. Malam itu, jalanan sedang memakan banyak korban kelalaian masuk terbawa ke Rumah Sakit ini.

Dua jam yang lalu, aku dilarikan ke Rumah Sakit akibat kecelakaan yang menyebabkan kakiku patah dan berdarah hebat. Aku yang baru belajar bersepeda tidak menyadari bahwa jari kakiku tersangkut di antara gerigi rantai. Seketika akupun terjatuh dan kakiku pun patah. Kala itu, tidak ada siapapun. Sontak saja aku merintih. Tak lama aku dibawa warga pulang ke rumah dan menceritakannya pada ayahku.

Tiba di Rumah Sakit, seseorang berbadan besar menghampiri aku dan ayahku. Aku langsung menjerit.. "Ini siapa?!"

"Pak, IGD dimana Pak?", tanya ayahku.

"Oh, nanti Bapak lurus saja memutari gedung ini, nanti ada tulisan IGD..", jawab orang itu sambil tersenyum agak manis.

"Terima kasih, Pak!", lanjut ayahku. Kemudian ia menatapku, "Tenang Nak, itu Bapak Satpam namanya.. Bukan penjahat.."

Kemudian kami masuk ke ruang IGD. Ruangannya penuh dan terasa sesak. Banyak orang berbaju putih berkeliaran di sekitarku. Kututupi saja wajahku.

"Apa aku menangis saja?!", dalam hati.

"Pak, bagaimana kejadiannya Pak?", tanya salah seorang dari mereka dengan lembut.

Ayahku menceritakan kembali sama persis dengan apa yang aku ceritakan. Setelah selesai, ayahku bilang kepadaku, "Nak, itu tadi Bapak Dokter yang mau memeriksa.."

Selang beberapa menit, seorang ibu-ibu berseragam biru muda menghampiriku. Ia menyiapkan beberapa jarum dan tabung berukuran kecil. Aku semakin bingung. Tiba-tiba ibu itu bilang, "Diambil darahnya dulu ya, Nak..".

Jleb!

Menangislah aku seketika. Rasanya sakit sekali seperti digigit semut merah di rumahku. "Sudah kok, Nak. Duh pinter..", ibu itu menyatakan bahwa ia telah selesai. Dan aku lega. "Itu ibu perawat, Nak.. Agak sakit ya? Sabar ya, Nak..", ayahku menambah hibur.

Beberapa saat kemudian, aku dibawa pindah ke ruangan untuk foto. Aku tak begitu mengerti. Tiba-tiba saja cahaya kilat seperti menyambarku, sebentar saja, lalu dibawa keluar lagi.

Waktu demi waktu berlalu. Ayahku terlihat agak cemas. Tampaknya dokter belum juga datang lagi menjelaskan tindakan apa yang akan dilakukan padaku. Tiba-tiba, aku merasa berbeda. Badanku menjadi lemas dan menggigil. Tanganku pun dingin tanpa keringat.

"Ayah, aku kedinginan.."

"Pakai jaket ayah saja ya, Nak", tukas ayahku sambil menadahkannya di atas tubuhku.

Suasana menjadi hening. Aku merasa tidak mendengar apa-apa. Dari atas, muncul seketika sesosok makhluk bertubuh tegap yang seperti ingin menjemputku ke suatu tempat.

Ia berkata, "Waktumu sudah tiba. Mari kubawa engkau ke tempat penantian..".

Aku menjawab, "Engkau siapa? Kenapa aku ingin dibawa?"

"Aku utusan langit."

Aku tidak begitu mengerti. "Lalu bagaimana dengan ayahku?"

"Ia sudah memasrahkan dirimu..", jawabnya.

Aku tanya lagi, "Lalu bapak Satpam, Dokter, dan Perawat yang tadi bagaimana? Masa aku tiba-tiba meninggalkan mereka begitu saja.."

"Mereka tengah berjuang mempertahankan nyawa yang lain untuk tidak kubawa.."

"Apa maksudmu?", sergahku.

"Setiap orang punya takdirnya masing-masing. Nasib memilih mereka yang diselamatkan, bukan engkau. Jadi, siapapun harus rela engkau kubawa.."

Aku terdiam termenung. Dalam sekejap ia hilang..

Dan aku seperti terbangun lagi mendengar ayahku histeris.

"Nak, ayo bangun, Nak!! Ayo Nak, sadarlah!..".

"Ayah.."

Tampaknya aku memang sudah kehabisan darah. Kesadaranku menurun. Mataku agak jadi gelap. Tampak samar-samar kulihat seorang yang disebut dokter itu tergesa-gesa menyadarkanku.. Lalu aku tak tahu lagi.

...

Aku mengerti. Kebetulan memang aku sedang tidak beruntung. Akhirnya takdir Tuhanlah yang berkata. Dokter pun yang digadang-gadang seperti "Dewa" pun tidak sanggup melawan-Nya. Mereka sudah terbawa skenario Tuhan untuk menolong yang lainnya. Itulah yang mungkin terbaik untuk mereka lakukan..

"Ayah, jangan salahkan mereka.."

Tangisan rintih terdengar sayup.

Dan aku lah sang bocah itu.

Selasa, 15 Mei 2012

Membangun Kebaikan

Matahari itu berbeda dengan bulan. Laut pun berbeda dengan langit. Meski sama bercahaya, meski sama membiru, tapi asal-usulnya berbeda. Cahaya bulan pantulan matahari, begitupun birunya laut pantulan langit. Meski sama bercahaya, meski sama membiru. Namun apakah orang pernah menyalahkan bulan? Justru karna nya malam jadi terang. Hamparan bumi tak menyepi dalam gelap. Dan apakah laut juga ikut disalahkan? Justru indahnya laut membiru akan mengajak mata kita menikmati ciptaan-Nya yang begitu eksotis. Maka kadang kita merasa minder dalam meniru. Khususnya hal yang baik. Tidak apa-apa. Tanpa harus mengetahui dahulu apa alasannya, kebaikan sekecil apapun tidak ada yang tidak pantas kita tiru selama masih berada dalam koridor atau batasan-batasan yang telah digariskan. Jujur saja, kita adalah makhluk peniru dari apa-apa yang senantiasa kita lihat, disadari maupun tidak. Maka ketrampilan memilah dan mengakuisisi kebaikan ke dalam diri menjadi sangat penting. Sebagai catatan, ketrampilan tersebut agaknya memang bergantung dari sedalam apa wawasan kita tentang kebaikan itu sendiri. Untuk ini, kita mesti belajar. Oleh karena itu, bangunlah kebaikan diri dari meniru contoh yang baik. Ingatlah bahwa Allah menjabarkan kalam-Nya banyak dalam perumpamaan-perumpamaan. Engkau juga tidak akan bisa berdiri sendirian dalam kebaikan. Engkau harus ikut bersujud dengan orang-orang yang juga sedang bersujud. Dan yang terpenting, engkau pun sebenarnya harus juga berada dalam lingkungan kebaikan itu sendiri. Jika tidak, dimanakah engkau akan tercelup? Matahari tidak berseteru dengan bulan. Langit pun tidak. Karena mungkin mereka sedang bersama-sama membangun kebaikan untuk kuasanya. Harmoninya teratur dan konsisten. Mengapa kita tidak? Tetaplah bersemangat membangun kebaikan.

Rabu, 28 Maret 2012

Belajar Keikhlasan Dari Kisah

Keikhlasan, ia unik. Tak hanya mesti ada ketika kita melakukan. Tapi ia pun harus ada ketika kita sedang ada dalam keputusan. Memang bukan tanpa harga yang harus dibayar. Gelak resah pasti ada. Kecewa juga pasti. Kadang putus asa. Bahkan kerat-kerut dahi serta tangisan seolah kadang jadi kompensasi untuk mengelakkan keputusan. Tapi tentunya ada kearifan dalam keikhlasan itu sendiri.

Tak ayal, sering kita berada di sana. Menjadi pelaku, atau penerima. Namun ada kisah unik yang aku catutkan dari sebuah novel. Sepenggal kisah dari novel yang merupakan kisah pemurnian pemikiran dari kesesatan.

Dikisahkan dari novel karya Adian Husaini dengan judul "KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat", seorang pemuda tampan dan sholeh sedang berada dalam misi suci yakni berkonflik dengan pemikiran-pemikiran sesat yang menyerang salah satu sahabatnya di pesanteren dan mengembalikannya pada pemikiran yang lurus. Misi itu berat dilakukannya karna terpaksa terjebak dalam pertaruhan antara ia dan sahabatnya itu. Dalam perjalanannya, pemuda ini bertemu dengan seorang wanita yang juga mengalami kemiripan kisah dengan sahabat pemuda ini. Tanpa tersadar, pemuda ini juga ingin menolong wanita tersebut dari pemikiran-pemikiran sesat. Singkat cerita, wanita itu akhirnya terselamatkan, begitu pula sang sahabat meski akhirnya sahabatnya ini mengalami gangguan dalam kejiwaan. Pada akhir cerita, pemuda ini jatuh hati dan ada niatan untuk menikahi wanita yang telah betobat itu. Belum kesampaian niat itu terlaksana, muncul sebuah pesan dari wanita itu kepada pemuda sholeh ini. Salah satu kutipannya, "Insya Allah, kamu akan menemukan pendamping yang lebih baik dan lebih tepat dari saya.. Kita ikhlaskan hati kita menerima takdir-Nya, Insya Allah akan datang pada kita kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang abadi, di mana hati kita merasa tenang saat mengingat Allah..". Rupanya wanita itu merasa harus menebus dosa-dosanya ketika belum "diselamatkan". Meski hati berkata seperti yang juga dirasakan pemuda ini, akhirnya sang wanita memutuskan agar sama-sama mengikhlaskan untuk tidak bertemu dalam satu ikatan pernikahan. Begitulah ending kisah tersebut.

Ternyata, keikhlasan dalam keputusan tak hanya kita temukan dari organisasi kecil ataupun besar saja. Kedua insan yang sedang dirundung kasmaran ini juga punya kisah yang menjelaskan bagaimana mengartikan keikhlasan. Dan aku, harus belajar dari mereka.

Rabu, 07 Maret 2012

Rasanya Unik, Bukan?

Tak sungguh menggenggam, hilang. Tak berperasa, menyakiti. Terpaku pada satu, keputusan jadi keliru. Terlampau meluas, ekstravagan merebak. Seperti itulah beberapa kejadian sehari-hari bagi penyandang ilmunya kedokteran. Dari sudut ini, sedikitnya menggambarkan bahwa kedokteran merupakan cabang kelimuan yang punya keunikan rasa serta perpaduan indah antara seni dan ilmiah, art and science.

Aku bukanlah pengagum berat kedokteran. Tetapi ada sisi-sisi tertentu yang membuat hingga kini daya tahan kesabaranku ini masih beralasan. Tentunya harus kumiliki hingga seterusnya kelak. Salah satunya mengenai komponen yang kuanggap terpenting dalam ilmu kedokteran ini. Pasien.

Suatu ketika, aku bertemu pasien dengan hipertensi di Puskesmas. Lalu kuterapkan keilmuan yang ada. Semua tentang penyakit hipertensi, penyebabnya, faktor risiko yang selalu kuulangi penjelasn bagaimana memodifikasi faktor-faktor tersebut pada pasien, hingga ke arah komplikasinya sambil sedikit memberikan perumpamaan yang agaknya mengerikan. Busa-busa mulutku justru membuat kering bibir. Pokoknya, isi kepalaku rasanya sudah dikeluarkan segala macam.

Pasien mengangguk. Agaknya mengerti, kataku. Kucoba mengkonfirmasi kembali apa yang telah kujelaskan. Kutanyakan apakah pasien mengerti atau tidak. Jawabnya, tidak!

Rupa-rupanya, yang ingin pasien ketahui bukanlah perihal penyakit yang dideritanya. Pasien hanya ingin tahu, bagaimana caranya mengkomunikasikan kepada anak-anaknya agar mereka terhindar dari penyakit tersebut. Aku keliru.

Anak-anaknya masih kecil. Tentu perlakuannya akan berbeda. Ilmunya kedokteran yang kubanggakan jadi tidak punya harga. Berubahlah peranku menjadi konselor. Bahkan lucunya, kadang yang ditanya tidak lebih mengerti daripada yang bertanya. Jelasnya, karna aku belum memiliki anak. Berperan sebagai komunikan lebih penting ketimbang isi otak yang telah kuisi selama bertahun-tahun. Lebih punya harga.

Begitulah yang kumaksud perpaduan indah. Rasanya begitu unik, bukan?

Kamis, 01 Maret 2012

Kunci dan Pintu

Hidup adalah kunci. Mati adalah pintu. Sehingga kami berhidup, memiliki pintu yang pasti. Sehingga kami berhidup, memilah-milih kunci yang tepat untuk pintu yang di dalamnya ada sesuatu keindahan yang diangan-angan. Jika tidak, sebaliknya.

Kami semestinya enggan menjadikan kunci yang sedang digenggam ini, rusak akibat lalai. Jadi cacat. Bodoh rasanya menyia-nyiakan. Sebab jelaslah, pintu yang ada sudah menunggu-nunggu. Di depan kami. Bahkan di depan kedua mata kami. Bahkan di dekat urat-urat nadi kami. Bahkan di lekuk-lekuk otak kami. Bahkan di tiap-tiap sela iga kami. Bahkan di dalam rongga dada kami yang begitu sempit. Bahkan di genang-genang darah kami. Begitu dekatnya.

Tak boleh salah! Bisa jadi adalah detik ini. Adalah kunci terakhir bagi kami. Tiada berkesempatan di kemudian waktu. Bergegaslah, perbaiki segera!

Rabu, 22 Februari 2012

Suara Cinta (2)

Setidaknya aku tak mau peduli. Adakah angin yang mengalir lembut itu kuasa merobohkan kokohnya pepohonan. Dan adakah air yang gemericik itu mampu menembus batu karang hingga ke dalam pori-pori terkecilnya. Dan adakah badai yang menari-nari itu seirama menenggelamkan segala kapal hingga karam di hamparan luasnya lautan. Dan adakah langit yang memucat itu menyelimuti bumi yang sedang kering kerontang. Dan adakah suara yang syahdu itu pun dapat membangunkan jiwa-jiwa mati.

Pun segala-galanya terjadi. Biarlah, kuasa Tuhan yang menghendaki. Mereka bertakdir masing-masing. Biarkan.

Dan aku tak begitu mau peduli. Mungkinlah aku tak selembut angin. Tak jua sekuat badai. Karna biarlah juga, ada kuasaku tuk mencintaimu, karna kuasa-Nya. Hingga mungkin takdir-Nya yang menjawab, layak.