Senin, 23 Agustus 2010

Tinggal Sedikit Lagi. Insya Allah.

Lama. Bukanlah waktu yang singkat. 3 tahun saya telah "membeli" waktu untuk belajar dalam salah satu cabang kecil dari kehidupan saya, kehidupan kampus. Sejak dari awal yang tidak mengira akan hidup dalam kondisi dan suasana yang seperti ini, sampai saat ini yang juga masih tidak mengira masih seberuntung hari ini. Ya, hari ini saya masih diberikan hidup. Hidupnya pun tidak dalam kekurangan. Tidak pula dalam keadaan sakit-sakitan hingga tidak mampu bangun dan bergerak. Bahkan masih dapat kuliah dan melanjutkan kehidupannya di sana. Maka sungguh apatah hal yang sanggup saya bayar untuk pemberian itu semua?

Satu-persatu saya melihat saudara kandung yang lebih tua dari saya berpakaian rapi, semua serba hitam dengan topi lebar yang melekat di kepalanya. Satu-persatu, mereka menerima ucapan selamat dari rekan-rekannya maupun guru-gurunya. Upacara wisuda pun terkadang menjadi puncak kebahagiaan orang tua saat beliau melihat anaknya berdiri di depan. Bahagia karena tidak semua orang tua mampu memberikan hal yang sama kepada anaknya. Bahagia pula karena anaknya pun mampu menjawab setidaknya sedikit kekhawatiran sang orang tua akan masa depan anaknya yang dibangga-banggakannya itu. Maka wajar jika hal ini melekat di benak saya saat ini. Ya, suatu saat saya juga ingin berada dalam posisi sang anak yang mampu menunjukkan baktinya, setidaknya dengan seperti yang telah diceritakan di atas.

Sekarang, insya Allah "hanya" tinggal setahun lagi saya kan menuju ke sana. Melihat ke belakang kembali bukanlah sesuatu yang bijak. Karna sungguh, ada cita-cita yang ingin saya kejar. Setidaknya dalam waktu yang dekat ini, maupun dalam kurun waktu yang jauh ke depan. Sudah terbayang. Tergambar. Tinggal prosesnya lah yang harus ditekuni. Daya berdaya yang dipertajam. Kesabaran yang diasah. Ya Rabb, semoga Engkau ridho.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Berkorban, Bukan Menjadi Korban.


Pengorbanan. Menilik ke dalam beberapa pengalaman yang klasik. Pernahkah kita menyisihkan sebagian uang kita untuk memberikan satu bungkus saja makanan berbuka puasa untuk orang lain? Namun saat kita diajak untuk ikut acara buka bareng, belasan bahkan puluhan ribu kita keluarkan. Tidak. Ada yang lebih sederhana. Pernahkah kita memindahkan puntung rokok (masih hidup) yang dibuang di tengah jalan ke tempat yang semestinya? Padahal melihat teman yang merokok saja kita masih enggan untuk berkata "tidak suka asap rokok!".

Rasulullah pernah bersabda bahwasanya memindahkan duri di jalan saja merupakan selemah-lemahnya iman. Coba kita bayangkan bila hal yang di atas kita masih enggan. Kasihan iman kita. Ia renta, hanya sekedar di mulut saja. Kosong. Bila begitu, entah kata-kata apa yang harus dirangkai untuk mendorong diri kita sendiri untuk menghadiahi waktu ini dengan membaca Al-Quran.

Sahabat. Kita semua tahu bahwa pengorbanan itu bukanlah sesuatu yang sederhana dalam perlakuannya. Masih butuh komponen dasar di dalamnya. Tanggung jawab, keberanian, kesabaran. Setidaknya itu yang dibutuhkan. Karna itu ada satu hal yang harus dipegang. Kita hidup bukan untuk diri kita sendiri. Ulama saja mengistilahkan dengan, "manusia kerdil". Apakah yang disebut pahlawan itu adalah kumpulan manusia-manusia berjiwa kerdil?

(Self-Evaluating..)

Kemilau Diri


Kemilau. Suatu istilah yang akarnya dari silau, menyilaukan. Bersinar terang. Banyak orang yang ingin menjadi orang yang paling terang, paling bersinar, paling memesona. Itu fitrah diri. Menjadi idola, tokoh yang disegani. Itu bagian dari kemilaunya.


Hanya saja, banyak yang belum sadar bahwa lilin itu juga terang. Itu bersinar. Namun ternyata ia juga tidak sekedar silau. Karna ia menerangi. Ya, kemilaunya menerangi yang lain. Walapun ironisnya sang lilin pun akan menjemput waktu akhir kemilaunya, tetapi siapa yang menyangkal bahwa lama nya ia hidup menjadi sesuatu yang sangat diharap-harapkan.


Belajarlah dari sana. Kita, manusia, pasti ada potensi di dalam diri. Setidaknya ada 3 potensi di sana. Tak salah jika kita mampu mengeluarkan segenap potensi yang ada. Agar kita semakin berkilau mantap dan sempurna. Namun waktu kita bukan untuk dihabiskan untuk itu. Karna sang lilin pun tahu, tugas ia bukan sekedar nyala nya api di mahkotanya melainkan jua untuk apa api itu dapat ia gunakan agar bermanfaat bagi sekitarnya. Sang lilin hidup bukan untuk dirinya sendiri.

Senin, 16 Agustus 2010

Merdeka!

Kemerdekaan. Makna nya luas. Sangat luas sebenarnya. Maka wajar jika banyak hal yang dapat ditarik dari kata itu. Secara konotatif ataupun denotatif. Secara gamblang, maupun tersirat. Hanya saja, masih terasa bingung. Kemerdekaan ini masih sering diinterpretasikan, "kebebasan seluas-luasnya". Lucu. Padahal tubuh kita saja butuh aturan untuk hidup normal. Regulasi gen yang ada di tiap sel, bila tidak ada aturan maka bisa berkembang menjadi keganasan. Sel-sel imun, bila tidak aturan yang jelas, bisa menjadi penyakit autoimmune. Aliran darah, bila tidak ada autoregulasi tekanan di otak, bisa berkembang menjadi stroke. Jelas. Bebas itu bukan tanpa aturan. Bebas itu berbatas aturan. Dari siapa aturan itu? Kita semua sudah seharusnya bisa menjawab itu. Bila sulit, tanyakan pada hati kecil kita.

Ada sisi lain yang bisa ditarik pula dari kata kemerdekaan. Sering terdengar teriakan "merdeka!" karna merasa kita belum merdeka. Kita merasa masih terjajah. Wajar. Itu semangat bergejolak. Hanya saja satu hal yang mungkin harus diperhatikan. Merdeka itu bukan sekadar pemberian! Tidak akan ada perubahan yang lebih baik itu terjadi tanpa kita sendiri yang melakukannya. Kita tidak bisa terus-menerus mengharapkan mukjizat terjadi tanpa ada usaha lebih. Ya, usaha lebih. Berdasarkan rumus fisika saja, usaha itu harus ada perpindahan. Itu berarti ada yang bergerak di sana.

Semua yang tertulis di atas hanyalah sekelumit alur yang ada di otak saya saat ini. Mampu kah hal itu terintegrasi menjadi bagian dari amal saya? Bismillah..