Rabu, 28 Maret 2012

Belajar Keikhlasan Dari Kisah

Keikhlasan, ia unik. Tak hanya mesti ada ketika kita melakukan. Tapi ia pun harus ada ketika kita sedang ada dalam keputusan. Memang bukan tanpa harga yang harus dibayar. Gelak resah pasti ada. Kecewa juga pasti. Kadang putus asa. Bahkan kerat-kerut dahi serta tangisan seolah kadang jadi kompensasi untuk mengelakkan keputusan. Tapi tentunya ada kearifan dalam keikhlasan itu sendiri.

Tak ayal, sering kita berada di sana. Menjadi pelaku, atau penerima. Namun ada kisah unik yang aku catutkan dari sebuah novel. Sepenggal kisah dari novel yang merupakan kisah pemurnian pemikiran dari kesesatan.

Dikisahkan dari novel karya Adian Husaini dengan judul "KEMI: Cinta Kebebasan yang Tersesat", seorang pemuda tampan dan sholeh sedang berada dalam misi suci yakni berkonflik dengan pemikiran-pemikiran sesat yang menyerang salah satu sahabatnya di pesanteren dan mengembalikannya pada pemikiran yang lurus. Misi itu berat dilakukannya karna terpaksa terjebak dalam pertaruhan antara ia dan sahabatnya itu. Dalam perjalanannya, pemuda ini bertemu dengan seorang wanita yang juga mengalami kemiripan kisah dengan sahabat pemuda ini. Tanpa tersadar, pemuda ini juga ingin menolong wanita tersebut dari pemikiran-pemikiran sesat. Singkat cerita, wanita itu akhirnya terselamatkan, begitu pula sang sahabat meski akhirnya sahabatnya ini mengalami gangguan dalam kejiwaan. Pada akhir cerita, pemuda ini jatuh hati dan ada niatan untuk menikahi wanita yang telah betobat itu. Belum kesampaian niat itu terlaksana, muncul sebuah pesan dari wanita itu kepada pemuda sholeh ini. Salah satu kutipannya, "Insya Allah, kamu akan menemukan pendamping yang lebih baik dan lebih tepat dari saya.. Kita ikhlaskan hati kita menerima takdir-Nya, Insya Allah akan datang pada kita kebahagiaan sejati, kebahagiaan yang abadi, di mana hati kita merasa tenang saat mengingat Allah..". Rupanya wanita itu merasa harus menebus dosa-dosanya ketika belum "diselamatkan". Meski hati berkata seperti yang juga dirasakan pemuda ini, akhirnya sang wanita memutuskan agar sama-sama mengikhlaskan untuk tidak bertemu dalam satu ikatan pernikahan. Begitulah ending kisah tersebut.

Ternyata, keikhlasan dalam keputusan tak hanya kita temukan dari organisasi kecil ataupun besar saja. Kedua insan yang sedang dirundung kasmaran ini juga punya kisah yang menjelaskan bagaimana mengartikan keikhlasan. Dan aku, harus belajar dari mereka.

Rabu, 07 Maret 2012

Rasanya Unik, Bukan?

Tak sungguh menggenggam, hilang. Tak berperasa, menyakiti. Terpaku pada satu, keputusan jadi keliru. Terlampau meluas, ekstravagan merebak. Seperti itulah beberapa kejadian sehari-hari bagi penyandang ilmunya kedokteran. Dari sudut ini, sedikitnya menggambarkan bahwa kedokteran merupakan cabang kelimuan yang punya keunikan rasa serta perpaduan indah antara seni dan ilmiah, art and science.

Aku bukanlah pengagum berat kedokteran. Tetapi ada sisi-sisi tertentu yang membuat hingga kini daya tahan kesabaranku ini masih beralasan. Tentunya harus kumiliki hingga seterusnya kelak. Salah satunya mengenai komponen yang kuanggap terpenting dalam ilmu kedokteran ini. Pasien.

Suatu ketika, aku bertemu pasien dengan hipertensi di Puskesmas. Lalu kuterapkan keilmuan yang ada. Semua tentang penyakit hipertensi, penyebabnya, faktor risiko yang selalu kuulangi penjelasn bagaimana memodifikasi faktor-faktor tersebut pada pasien, hingga ke arah komplikasinya sambil sedikit memberikan perumpamaan yang agaknya mengerikan. Busa-busa mulutku justru membuat kering bibir. Pokoknya, isi kepalaku rasanya sudah dikeluarkan segala macam.

Pasien mengangguk. Agaknya mengerti, kataku. Kucoba mengkonfirmasi kembali apa yang telah kujelaskan. Kutanyakan apakah pasien mengerti atau tidak. Jawabnya, tidak!

Rupa-rupanya, yang ingin pasien ketahui bukanlah perihal penyakit yang dideritanya. Pasien hanya ingin tahu, bagaimana caranya mengkomunikasikan kepada anak-anaknya agar mereka terhindar dari penyakit tersebut. Aku keliru.

Anak-anaknya masih kecil. Tentu perlakuannya akan berbeda. Ilmunya kedokteran yang kubanggakan jadi tidak punya harga. Berubahlah peranku menjadi konselor. Bahkan lucunya, kadang yang ditanya tidak lebih mengerti daripada yang bertanya. Jelasnya, karna aku belum memiliki anak. Berperan sebagai komunikan lebih penting ketimbang isi otak yang telah kuisi selama bertahun-tahun. Lebih punya harga.

Begitulah yang kumaksud perpaduan indah. Rasanya begitu unik, bukan?

Kamis, 01 Maret 2012

Kunci dan Pintu

Hidup adalah kunci. Mati adalah pintu. Sehingga kami berhidup, memiliki pintu yang pasti. Sehingga kami berhidup, memilah-milih kunci yang tepat untuk pintu yang di dalamnya ada sesuatu keindahan yang diangan-angan. Jika tidak, sebaliknya.

Kami semestinya enggan menjadikan kunci yang sedang digenggam ini, rusak akibat lalai. Jadi cacat. Bodoh rasanya menyia-nyiakan. Sebab jelaslah, pintu yang ada sudah menunggu-nunggu. Di depan kami. Bahkan di depan kedua mata kami. Bahkan di dekat urat-urat nadi kami. Bahkan di lekuk-lekuk otak kami. Bahkan di tiap-tiap sela iga kami. Bahkan di dalam rongga dada kami yang begitu sempit. Bahkan di genang-genang darah kami. Begitu dekatnya.

Tak boleh salah! Bisa jadi adalah detik ini. Adalah kunci terakhir bagi kami. Tiada berkesempatan di kemudian waktu. Bergegaslah, perbaiki segera!