Kamis, 27 Desember 2012

Cerpen: Takdir Tidak Salah..

"Tidak bisa dimengerti! ".

"Mengapa mereka tega membiarkan pasien itu terlantar begitu saja?!", keluh seorang ibu-ibu muda yang juga tengah berada di sebuah Rumah Sakit.

Pasien itu merujuk pada seorang bocah yang terlambat masuk kamar operasi karena dikatakan penuh. Suasana begitu ramai, ditambah ada yang sangat berisik meraung-raung kesakitan. Malam itu, jalanan sedang memakan banyak korban kelalaian masuk terbawa ke Rumah Sakit ini.

Dua jam yang lalu, aku dilarikan ke Rumah Sakit akibat kecelakaan yang menyebabkan kakiku patah dan berdarah hebat. Aku yang baru belajar bersepeda tidak menyadari bahwa jari kakiku tersangkut di antara gerigi rantai. Seketika akupun terjatuh dan kakiku pun patah. Kala itu, tidak ada siapapun. Sontak saja aku merintih. Tak lama aku dibawa warga pulang ke rumah dan menceritakannya pada ayahku.

Tiba di Rumah Sakit, seseorang berbadan besar menghampiri aku dan ayahku. Aku langsung menjerit.. "Ini siapa?!"

"Pak, IGD dimana Pak?", tanya ayahku.

"Oh, nanti Bapak lurus saja memutari gedung ini, nanti ada tulisan IGD..", jawab orang itu sambil tersenyum agak manis.

"Terima kasih, Pak!", lanjut ayahku. Kemudian ia menatapku, "Tenang Nak, itu Bapak Satpam namanya.. Bukan penjahat.."

Kemudian kami masuk ke ruang IGD. Ruangannya penuh dan terasa sesak. Banyak orang berbaju putih berkeliaran di sekitarku. Kututupi saja wajahku.

"Apa aku menangis saja?!", dalam hati.

"Pak, bagaimana kejadiannya Pak?", tanya salah seorang dari mereka dengan lembut.

Ayahku menceritakan kembali sama persis dengan apa yang aku ceritakan. Setelah selesai, ayahku bilang kepadaku, "Nak, itu tadi Bapak Dokter yang mau memeriksa.."

Selang beberapa menit, seorang ibu-ibu berseragam biru muda menghampiriku. Ia menyiapkan beberapa jarum dan tabung berukuran kecil. Aku semakin bingung. Tiba-tiba ibu itu bilang, "Diambil darahnya dulu ya, Nak..".

Jleb!

Menangislah aku seketika. Rasanya sakit sekali seperti digigit semut merah di rumahku. "Sudah kok, Nak. Duh pinter..", ibu itu menyatakan bahwa ia telah selesai. Dan aku lega. "Itu ibu perawat, Nak.. Agak sakit ya? Sabar ya, Nak..", ayahku menambah hibur.

Beberapa saat kemudian, aku dibawa pindah ke ruangan untuk foto. Aku tak begitu mengerti. Tiba-tiba saja cahaya kilat seperti menyambarku, sebentar saja, lalu dibawa keluar lagi.

Waktu demi waktu berlalu. Ayahku terlihat agak cemas. Tampaknya dokter belum juga datang lagi menjelaskan tindakan apa yang akan dilakukan padaku. Tiba-tiba, aku merasa berbeda. Badanku menjadi lemas dan menggigil. Tanganku pun dingin tanpa keringat.

"Ayah, aku kedinginan.."

"Pakai jaket ayah saja ya, Nak", tukas ayahku sambil menadahkannya di atas tubuhku.

Suasana menjadi hening. Aku merasa tidak mendengar apa-apa. Dari atas, muncul seketika sesosok makhluk bertubuh tegap yang seperti ingin menjemputku ke suatu tempat.

Ia berkata, "Waktumu sudah tiba. Mari kubawa engkau ke tempat penantian..".

Aku menjawab, "Engkau siapa? Kenapa aku ingin dibawa?"

"Aku utusan langit."

Aku tidak begitu mengerti. "Lalu bagaimana dengan ayahku?"

"Ia sudah memasrahkan dirimu..", jawabnya.

Aku tanya lagi, "Lalu bapak Satpam, Dokter, dan Perawat yang tadi bagaimana? Masa aku tiba-tiba meninggalkan mereka begitu saja.."

"Mereka tengah berjuang mempertahankan nyawa yang lain untuk tidak kubawa.."

"Apa maksudmu?", sergahku.

"Setiap orang punya takdirnya masing-masing. Nasib memilih mereka yang diselamatkan, bukan engkau. Jadi, siapapun harus rela engkau kubawa.."

Aku terdiam termenung. Dalam sekejap ia hilang..

Dan aku seperti terbangun lagi mendengar ayahku histeris.

"Nak, ayo bangun, Nak!! Ayo Nak, sadarlah!..".

"Ayah.."

Tampaknya aku memang sudah kehabisan darah. Kesadaranku menurun. Mataku agak jadi gelap. Tampak samar-samar kulihat seorang yang disebut dokter itu tergesa-gesa menyadarkanku.. Lalu aku tak tahu lagi.

...

Aku mengerti. Kebetulan memang aku sedang tidak beruntung. Akhirnya takdir Tuhanlah yang berkata. Dokter pun yang digadang-gadang seperti "Dewa" pun tidak sanggup melawan-Nya. Mereka sudah terbawa skenario Tuhan untuk menolong yang lainnya. Itulah yang mungkin terbaik untuk mereka lakukan..

"Ayah, jangan salahkan mereka.."

Tangisan rintih terdengar sayup.

Dan aku lah sang bocah itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar