Rabu, 23 November 2011

Anak Buta

Cobalah engkau lakukan..

Berdirilah! Lalu pandanglah jendela kamarmu di pagi hari ketika matahari telah keluar dari persembunyiannya. Rasakan sedikit hangatnya mentari mendekap tubuhmu. Kemudian tutup kedua bola matamu. Gerakkan tanganmu ke depan wajahmu sendiri. Lambaikan ke kanan dan ke kiri. Ke atas dan ke bawah. Apa yang bisa kau lihat? Hanya bayang-bayang yang bergerak-bergerak kesana kemari?

Begitulah keadaan kita sewaktu lahir. Jika dahulu kita dapat berbicara jelas, maka pasti kita kan menjerit. Kita tak mampu melihat! Namun Tuhan begitu adilnya. Tidak ada bayi lahir yang sekonyong-konyong mampu berfikir dan berbicara, bahkan berjalan dan bermain riang. Bayi akan alami proses tumbuh dan berkembang. Begitupun kedua mata ini. Mereka berkembang hingga usia menginjak 6 tahun. Mata normal kita kini tidak akan menjelma seperti ini tanpa melewati proses itu. Bersyukurlah kawan. Akui, kita semua terlahir sebagai anak buta!

*Terinspirasi oleh salah satu dokter spesialis mata Bandung.

Cerita Kecil dari Santolo

Siang itu, hampir penuh dengan keringat. Berlalu-lalang orang-orang di depanku. Sambil membawa secarik kertas kecil, mereka juga sedang menunggu gilirannya masing-masing. Ada nenek-nenek tua dengan membawa serta anak dan cucunya. Ada pula bapak-bapak yang terlihat amat sulit berjalan tanpa dipapah. Tak jarang tangisan anak kecil mengiringi riuh suasana kala itu. Begitu ramainya hingga beberapa warga di sana ikut membantu untuk mengkondisikan ketertiban balai pengobatan yang digelar oleh beberapa mahasiswa yang tergabung dari universitas yang berbeda tersebut.

Kuakui sangat lelah rasanya. Penatnya begitu merasuk ke kepala. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak. Aku keluar dari ruangan sambil melepaskan serat-serat ototku yang sedang berketemukan. Kujumpai seorang ibu menggendong anaknya seusia 1 tahun menurutku. Lalu aku bertanya basa-basi, "Ibu, ini anaknya berapa tahun usianya?". Ibu itu menjawab, "2,5 tahun cep." Aku sedikit tergelak. Anak dengan usia itu belum berjalan sendiri, dan terlihat pendiam. Kemudian kutanya kembali, "Ibu sudah diperiksa di dalam?" dan sang ibu menjawab, "Oh. Belum cep. Da ini anak saya yang mau diperiksa." Kutanya balik, "Memangnya kenapa Bu dengan anaknya?" Ibu itu menjawab lagi, "Iya cep, ini teh anak saya kan udah 2 tahun lebih, tapi ya begini kondisinya. Itu coba lihat cep, ada yang nonjol kan di punggung nya?" Sambil memperhatikan punggung yang ditunjuk, aku mengiyakan. Lalu Ibu tersebut bertanya balik,"Ibu tuh mau tahu aja sebenarnya, klo seperti ini tuh bisa disembuhkan gak ya?".

Aku henyak sejenak.

Diriku memiliki diagnosis banding tersendiri pada anak ini. Spina bifida dengan paralysis nervus spinalis segmen lumbal. Setidaknya hal itu yang menjadi berat untuk mengatakan faktanya kepada sang ibu bahwa anaknya memiliki kelainan bawaan cukup berat yang membuatnya tidak dapat berjalan. Apalagi jika harus katakan juga bahwa kemungkinan anak pada kehamilan berikutnya memiliki resiko terjadinya hal serupa. Dan jikalau dioperasi kelak, sungguh tidaklah mudah untuk menjangkaunya. Benar-benar tak tahu aku harus berkata apa.

Sungguh beginilah kejiwaan sosialku diketuk. Ibu tersebut berasal dari daerah dengan sosioekonomi yang minim yang bahkan untuk menuju ke daerah keramaian saja dibutuhkan waktu 2 jam dengan melewati terjal tebing serta hutan dan jalan berbatu. Selain itupun, daerah ini berada sekitar 6-7 jam dari kota bandung. Bayangkan, apabila kusarankan anak tersebut untuk dilakukan operasi di RSHS, kurasa itu benar-benar konyol. Beliau jelas membutuhkan uluran bantuan. Tapi hingga saat aku menulis ini pun, aku tak tahu bagaimana caranya.

Sobat, kita dengan mereka adalah sama. Sama-sama memiliki hak untuk berbahagia dengan kualitas hidup yang baik. Sebagian bisa berkata, itu nasib. Tetapi aku pun bisa sampaikan, nasib kita juga yang seharusnya ditugaskan melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan dan kompetensi kita masing-masing. Dan mereka adalah bagian dari masyarakat itu.



*Cerita kecil dari desa Tipar, kec.Pameungpeuk, Garut. Mungkin, tidak ada yang melihatnya ketika itu.

itu ceritaku.. apa ceritamu?

Kamis, 03 November 2011

Orang Asing

Tidakkah dirimu merasa jengah? Kau tahu, kini kau dibuang. Seolah kau tidak punya tempat lagi di selimut bumi ini. Dirimu tenggelam dalam anggapan benak-benak yang kotor. Kau bagai sampah bernyawa. Dibuang, dan kembali lagi. Diinjak, dan lagi-lagi kembali. Isi kepalamu seperti tidak punya logika. Kau juga tahu, tubuhmu lemah seperti arang. Tetapi lagi-lagi kembali. Lagi-lagi.

Tidakkah dirimu merasa malu? Kau tahu, kau berbeda. Tingkahmu asing. Pikirmu aneh. Kau tahu, kau selalu dianggap bodoh dan kaku. Jika orang jadi sepertimu, pasti jatuh miskin. Begitu orang pikir. Tapi lagi-lagi kau kembali. Lagi-lagi.

Aku tak mengerti seberapa hebat kau. Aku tak peduli itu. Aku hanya mau tahu alasan. Mengapa kau mampu bertahan.

Kamis, 01 September 2011

Dosa Yang Terabaikan

Pagi-pagi matahari belum menyapa. Dinginnya mendekap tubuh yang masih malas beranjak dari tempat aku bermimpi. Terdengar gema takbir yang memang tiada henti berkumandang semalaman dari pengeras suara masjid di dekat rumah. Kudirikan sholat subuh dan dilanjutkan sholat ied ketika waktu dhuha akan tiba.

Tepat pukul 7, kami memulai sholat. Tempatnya begitu ramai karna masjid ini menjadi satu dari beberapa masjid yang menyelenggarakan sholat ied pada hari itu. Maklum, kami berlebaran pada hari yang berbeda dengan kebanyakan. Berbeda, tetapi tidak masalah. Toh masih sama-sama telah laksanakan puasa Ramadhan.

Setelah sholat, kulihat beberapa orang berdiri dan mengambil seonggoh kain. Aku sedikit tak sadar apa yang akan mereka lakukan. Seketika mereka berjalan berkeliling mengitari jamaah. Ternyata mereka sedang edarkan kotak amal. Hingga sadar, ternyata aku tak membawa uang sepeserpun.

Sebenarnya ini hal yang sepele. Ternyata bagiku tidak. Dahulu aku amat terbiasa menyisihkan uang untuk berinfak setiap hari. Kusiasati dengan menyediakan kotak khusus di dalam kamar untuk aku berinfak dan bila telah penuh maka kuberikan kepada sebuah yayasan amal. Anehnya, sungguh bahagia setiap kali melihat kotak itu penuh. Padahal tahu bahwa itu bukanlah tabungan pribadi.

Namun bulan terakhir ini, aku tidak lagi menyiapkan kotak itu. Mulanya aku masih ingat untuk berinfak setiap hari di berbagai kesempatan. Namun akhirnya aku sering lupa. Bahkan sempat tidak pernah sama sekali dalam beberapa minggu. Sekali lagi, bagiku ini bukan hal sepele. Aku sudah tidak terbiasa berbuat kebaikan walaupun hanya sekedar berinfak.

Abdullah bin Mas'ud r.a. pernah berkata, "Biasakan berbuat baik, sebab untuk dapat kontinu berbuat baik diperlukan pembiasaan." Kini aku mengerti, jangan pernah tinggalkan kebiasaan baik. Karena sebaliknya, kebiasaan buruklah yang akan memenuhi aktivitas-aktivitas kita. Na'udzubillah.

Minggu, 19 Juni 2011

Ma'iyyatullah

Bola mataku terlalu kecil tuk melihat anggun-Mu. Telingaku pun hanya dua. Hanya bisa berprasangka atas keindahan kata-Mu. Otakku yang tersimpan rapat dalam kepala cuma sekedar menjalani kehendak-Mu. Inilah batasku. Engkau yang kuasa.

Aku tak pernah bisa melihat masa depan. Sekali lagi, aku hanya berprasangka. Demi mengobati jiwa yang lemah, aku jadi gila. Sayang, lagi-lagi gagal. Padahal yang kecil suatu saat jadi besar. Sayang, lagi-lagi keliru.

Maka nasib Allah yang tentukan. Tapi manusia gerakkan tubuhnya. Tidak sendiri. Manusia dan Allah, akan jadi kombinasi yang indah. Ma'iyyatullah.

Selasa, 10 Mei 2011

Mencari Kejujuran?

Kebanyakan mencari-cari orang jujur. Tidak aneh. Anggapannya, mungkin kini jarang. Tetapi menggelikan. Mengapa tidak dicari dahulu dalam dirinya masing-masing?

Ini jadi trend. Perilaku tidak sehat secara mental ini telah mengakar bikar. Bahkan konyol. Yang terbiasa "polos" malah dianggap "sok suci". Entah sengaja atu tidak, tetapi pendusta memang cenderung lega ketika individu lainnya bersama-sama dengannya mengalirkan dusta yang tak berujung. Apakah itu kerelaan? Atau kepuasan?

Selasa, 19 April 2011

Ini etika Bung!

Memegang keramahan kata-kata yang mengalir terucap memang bukan hal mudah. Tahan! Tapi ini etika Bung!

Manusia dianugrahkan emosi yang begitu luar biasanya mampu mengendalikan gerak geriknya. Dia bermain bagai air. Ketika mendidih, meluap-luap. Kala membeku, jadi hening. Meski otak lihai berbicara, namun emosi kadang jadi pahlawan. Begitulah fungsi emosi. Menembus batas-batas keputusasaan otak dalam menyelesaikan masalah yang terlihat mustahil. Memang ajaib.

Tapi tunggu dulu bung! Anda tidak dapat jadikan ini sebagai alasan 'tuk jadikan emosi sebagai garda terdepan dalam hal apapun. Otak dan emosi bukan lawan. Mereka teman. Mereka kawan dalam kebersamaan. Mereka menyempurnakan. Bukan satu membunuh yang lainnya!

Begitu juga dengan mulut! Dia adalah pintu keluar mereka. Jika emosi yang keluar lebih dulu, maka hasilnya jadi emosional. Jika otak yang keluar lebih dulu, maka bisa tak manusiawi. Tapi lihat! Jika keduanya keluar bersama-sama, alunannya mengalir indah. Jadi bernyawa, namun manusiawi dan cerdas!

Begitupun kepala ini! Sangat tak berkenan dengan kata-kata menjijikkan yang terpaksa masuk ke liang telinga yang juga muak dengan kekotorannya! Dimanakah letak kesantunan itu? Sudah terlanjur dibuang jauh kah? Atau engkau sudah bunuh otak itu?

"Mereka adalah yang berzikir dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring dan berpikir pada penciptaan langit dan bumi.." Ali Imron 191

Allah SWT telah ajarkan ini kepada insan. Orang berakal sehat adalah yang gunakan aktivitas hati dan otak nya bersama-sama. Tutur kata yang tidak waras, mungkin sudah mampu engkau tebak asalnya!

Mari sama-sama belajar kembali apakah isi diri kita ini sudah pantas untuk diserahkan kepada-Nya kelak.

Jumat, 01 April 2011

Istiqomah

Kepada akar yang terus menghujam.
Kepada langit yang kokoh tanpa runtuh.
Kepada embun yang setia membasahi bumi.
Kepada sungai yang jemarinya menjalar ke laut.

Tetaplah begitu.
Hingga masa ketika engkau telah usai dengan tugas-tugas mulia.
Tapi nasibmu memang begitu.
Karena engkau adalah pilihan Tuhan.

Engkau pikir mungkin jadi sampah.
Engkau pun pikir jadi ilalang.
Yang diinjak-injak kezhaliman
dan kemunafikan
di sekitar jalan kesucian.

Namun janganlah engkau khawatir. Tuhan Maha Memberi Perhitungan.

Sabtu, 12 Maret 2011

Aku Iri.

Begitulah manusia ini menjaga dan memelihara asa kesyukuran pada Tuhannya. Keringatnya kerap mengalir. Melabuhkan diri pada tempat dimana kakinya berpijak. Mereka tuli? tidak. Mereka bahkan memanen cacian dari orang yang suka melempar caci. Lalu apakah mereka buta? sama sekali tidak. Terang-terangan orang di sekitarnya membunuh nurani suci melekat dalam dada. Ah. Merekalah yang selalu memiliki momentum dalam hidupnya. Begitulah asa kesyukuran pada Tuhannya.

Hidup. Kaki mereka. Tangan mereka. Telinga mereka. Mulut mereka. Pikiran mereka. Hati mereka. Semangat mereka. Semua hidup tanpa bayang keraguan. Itulah jati diri. Kuat mencengkerama. Langkah mereka menjulang tinggi. Padahal tak ada sayap. Itu bukan angan-angan kosong.

Tak sadar aku telah iri. Pada mereka yang tulangnya tahan banting. Yang kepalanya tertunduk bukan lesu. Melainkan pandangan yang tak terundang maksiat. Yang wajahnya merekah bagai bunga merona. Tebaran senyum bukan sekedar pesona. Yang tangannya berurat, tapi lembut. Yang kedua kakinya kian bengkak karena enggan kenal henti. Yang hatinya abadi untuk-Nya.

Aku iri dengan mereka.

Kamis, 10 Maret 2011

Pengkhianatan

Maafkan aku Rabbi.
Lidah ini kerap bertingkah jengah.
Tapi tak sadar, adalah pengkhianatan!
Terhadap tangan yang terbelenggu kaku.
Menampik, padahal berlutut pada kenistaan.
Menelusuri ruang yang bernama, hampa.
Hanya ada nilai hina di sana.

Aku tak mau seperti itu.

Begitulah yang aku tangkap dari sebuah slogan besar, "Knowledege is power, but character is more..". Mungkin adalah benar jika banyak untuk temukan manusia dengan kepala berbobot. Pikirannya menonjol, berenang-renang dengan ide-ide kreatif nan inovatif. Otaknya bak mulut yang berisik. Hanya saja, itu khianat. "Pepesan kosong". Mulutnya ucap, "Aku sudah lakukan ini, itu, dan sebagainya..". Begitulah cara tubuhnya khianati kepala di atasnya. Kerjanya kosong tak berisi.

Aku tak mau seperti itu.

Jumat, 04 Maret 2011

Yang aku tahu..

Aku takkan tahu rahasia ini. Hingga kelak saatnya menjelma takdir.

Yang aku tahu, dia adalah angin.
Yang berusaha selalu menyejukkan pandanganku dengan halal.

Yang aku tahu, dia adalah api.
Yang berusaha membakar selalu kayu-kayu semangat hingga terkumpul bulat.

Yang aku tahu, dia adalah awan.
Yang berusaha menyelimuti dari rasa gerah penatnya amanah.

Yang aku tahu, dia adalah surya.
Yang berusaha menghangatkanku dari dinginnya kemalasan, yang buatku kaku.

Yang aku tahu, dia adalah hujan.
Yang bulir-bulir air matanya mengalir deras saatku payah.

Dan yang aku juga tahu, tak perlu aku tahu kini.

Sabtu, 26 Februari 2011

Keberanian

Bukan aku tak takut api, tetapi air punya daya. Berjalan melalui semak-semak, kodok pun tidak takut ular yang mulutnya cukup besar menelan dia hidup-hidup. Bahkan sel-sel imun tubuh tak pernah tahu juga makhluk asing apa yang akan masuk. Tetapi mereka tak pernah diam ketakutan, oleh karenanya respon tubuh terhadap benda asing akan selalu tampak. Jiwa-jiwa mereka berani.

Alangkah bijak Rasulullah yang bersabda, "Ajarilah anak-anak kalian berkuda, berenang dan memanah." (HR. Bukhori/Muslim). Bukan hanya masalah bagaimana berkuda, berenang, ataupun memanah. Rasulullah paham benar bahwa aktivitas itu adalah sarana untuk melatih keberanian semenjak kecil. Pernah berenang? Awalnya aku pun takut jika tenggelam. Hingga aku diajari, lahir keberanian.

Keberanian itu terlahir, menjelma dari kandung percobaan. Sekali, maupun kesekian kalinya percobaan itu.

Rabu, 09 Februari 2011

Segera Bereskan!

Dimana dia? Dimana tuan kecil yang bersarang dalam cangkang yang kuat itu? Begitu lemahkah dia bicara perintah? Tubuhku sudah terlalu kaku. Banyak rebah-rebah di atas kasur empuk. Sedikit sekali karya manis dari tangan yang terlanjur lemas.

Pikiran ini perlu aku bagikan. Di sini, aku mengutip perkataan dari seorang ustadz, "Jangan engkau menunggu-nunggu dapat petunjuk, bergeraklah dan bergegaslah maka Allah akan berikan petunjuk-Nya." Kali pertama, aku terbesit dengan celotehan kecil yang pernah terdengar semasa aku remaja. Banyak yang katakan bahwa memakai jilbab membutuhkan hidayah khusus dari Tuhan sehingga menjelma jadi alasan bagi yang belum mau mengenakannya. Dulu aku mengangguk-angguk saja. Kini otakku bergelut tidak sepakat. Memangnya Allah akan beri dengan hanya menunggu?

Itu kisah dulu. Dan kini ia menimpa kembali. Fenomenanya tidak terlampau besar, tetapi banyak. Andaikan kudengar kembali ustadz tadi berkata kepadaku langsung, pastilah ucapannya "Jangan jadi mahasiswa penunggu kelulusan, bereskan dengan segera maka Allah akan berikan kelulusan kepadamu dengan segera pula."

Insya Allah.

*Di tengah-tengah sibuknya skripsi, setidaknya tidak menyibukkan untuk menulis.

Sabtu, 05 Februari 2011

Si Bahagia

Tanganku terpangku malas. Sambil kuperhatikan sesosok jiwa yang kepayahan. Tubuhnya kecil dan kurus. Tetesan keringatnya berlomba-lomba jatuh ke atas tanah liat. Tampak urat-urat tangannya menjulur dari ketiak yang terlihat. Menuju hingga kepalan tangan yang sedang menggegam sesuatu. Dalam terik dekapan hangat mentari pagi. Keras sekali beliau bekerja.

Tetapi tidak. Isi kepalanya sejuk. Tubuhnya berdusta kepadaku. Kulihat raut wajahnya tanpa kerut. Panasnya ladang tidak kuasa mencekik jiwanya. Padahal payah. Malah pikirnya diselimuti bahagia nan tenang. Katanya menunggu-nunggu benih tertanam telah tumbuh kekar kelak.

Apa yang membuatmu bahagia Bapak? "Kalian." Jawabnya. Benar. Indahnya kelak, bukan kini.

Sabtu, 29 Januari 2011

Belajar pada Air Mata

Kami hidup berawal dari menangis. Jerit sekali. Seperti embik yang kehilangan rumput. Tapi begitulah kami memulai hidup. Mencintai dengan menangis. Membenci pula dengan menangis. Ah. Kami tidak sedang membuat hujan. Tapi begitulah kami.

Mari belajar pada air mata. Karena mereka tidak mau sekedar turun dan menetes. Ada yang ingin disampaikan. Mereka meresap dalam sanubari yang bergejolak. Mereka menyejukkan jiwa yang terlunta luka akibat aliran emosi yang menyengat. Menumbuhkan bunga-bunga kecil yang indah. Yang melambai-lambaikan kalimat kesopanan. "Bergegaslah setelah tangisanmu ini. Bergembiralah."

Rabu, 19 Januari 2011

Allah, Mohon Ridhoi.

Dahulu aku berenang-renang tenggelam dalam perut ibunda. Huh. Penantianku panjang. Hampir satu tahun. Tak pernah kurasakan nafas udara disana. Apalagi pegal. Namun aku lemah. Tapi ibunda melindungi. Dan aku pula tak pernah tahu dan sadar ketika ku keluar belitan masalah sudah siap membentang. Beruntung jika mereka muncul di sana. Banyak sekali masalah bisa datang sebelum itu.

Aku keluar tak punya apa-apa. Apalagi daya. Sekali lagi, ibunda melindungiku. Ah. Andai beragam kata telah kupunyai saat itu. Ucapku, Allah Maha Besar. Telah turunkan pahlawan bagi semua calon pahlawan. Telah karuniakan cinta dan kasih sayang lewatnya. Telah tanamkan nikmat kehidupan bagi kami berdua. Segala puji untuk-Nya.

Ibunda. Puisi untukmu sudah banyak sekali. Bahkan ribuan. Doa untukmu juga tidak kalah. Bahkan setiap waktu. Wajar sekali, Ibunda. Wajar. Puisi bagi seorang pujangga adalah ungkapan dalam dari lubuk jiwa. Doa juga adalah pamungkas seseorang untuk larut dalam tangisan. Lagi-lagi juga perasaan. Hati jadi banyak bicara. Ketika mulut tak mampu, tangan tak kuasa. Cinta berwujud bukan mainan. Ini pekerjaan yang sesungguhnya. Begitulah, ibunda.

Ibunda. Tangisanku waktu kecil pasti buatmu begitu kesal. Apalagi aku menangis tak sendirian. Kembaranku pun menangis di saat yang bersamaan. Aku bayangkan tangisan kami seperti alunan melodi musik kasar. Aku malu. Karna cuma itu cara aku khawatir kehilangan kasih sayangmu.

Ibunda. Kini aku telah beranjak usia kepada dua. Umurku sudah lebih 20 tahun. Aku berpikir untuk terlepas. Tetapi engkau masih anggapku asuhan yang masih akan hilang jika dilepas. Aku tidak masalah. Aku tahu keterbatasanku. Aku juga tahu kasih sayangmu. Tapi inilah kesempatanku memilih menjadi dewasa. Aku ingin cepat-cepat membalas semua yang telah engkau lakukan. Ya. Kebahagianmu itu bahagiaku. Allah, mohon ridhoi.

Minggu, 16 Januari 2011

Touring D'West Java


Kedua tangan menggenggam besi berjalan. Sepasang mata selalu memandang sekitar jalan. Berlalu lalang kendaraan di kanan kiri. Gunung-gunung bak mengawasi laju kami dalam perut mereka. Pepohonan bersautan menyambut. Hingga ombak-ombak berlari berlomba ke pantai, berdesir keras memecah. Sambutan badai pun tak mau ketinggalan cerita. Subhanallah, Indah. Syukur.

Cerita perjalanan yang luar biasa. Hampir-hampir isi pena akan habiskan puluhan lembar cerita drama untuknya. Lengkap. Sangkaan kami dibalas dengan dahsyat. Allah berikan pandangan nyata kebesaran-Nya. Gunung, bukit, lautan, dan telaga. Angin, ombak, hujan, dan tanah. Lelah memang hadapi mereka. Namun ganjarannya lebih dinikmati. Betapa agungnya Engkau.

Salah satu yang menarik adalah perjalanan menelusuri hamparan bukit di dekat pantai selatan. Aku tak tahu persis letak bukit itu. Yang aku tahu hanyalah rentang panjang jalannya yang mencapai puluhan kilometer. Atau bahkan ratusan. Jalan lurus nan halus cuma mau ambil bagian kecil di sana. Malah lika-liku dan lubang-lubang jalan yang bertebaran luas. Tetapi sekali lagi, mata kamera takkan mampu menikmati seindah pandangan dua bola mata ini. Sensasional.

Setidaknya kami belajar tentang ketakutan. Sehingga kami tahu saat keberanian muncul sebagai pahlawan. Pengalaman berharga Allah berikan kepada banyak orang. Namun hikmahnya hanya ditangkap oleh segelintir darinya. Kami belajar untuk itu.

Kamis, 13 Januari 2011

Straight Forward!

Bagai berjalan dalam celah lembah. Melihat sekitar hanyalah tembok batu yang gagah. Tidak ada pilihan untuk maju lurus tanpa berbelok. Jika terantuk, benturan jadi mengingatkan. Tak kuasa tahu apa yang ada dibalik batu. Yang tahu hanya batu.

Tapi jalan bukan tak berujung. Selalu ada rerumputan yang menunggu di depan. Selalu ada laut luas yang siap terbentang di mata. Indahnya bukan di benak. Hanya ada dalam rahasia-Nya.

Begitu juga dengan kita. Kita selalu merasa terkungkung dengan apa yang telah diatur oleh-Nya. Keluhan selalu terurai dalam cemoohan jika ada yang mencoba tegakkan. Ya begitulah nasib aturan itu. Punya kesan ekstreme dan kaku.

Aku cuma tidak habis pikir. Banyak sekali orang ingin keluar dari pagar-pagar-Nya. Kondisi selalu jadi tameng. Ketidakmampuan jadi peringan. Ketidaktahuan malah jadi kambing hitamnya. Apakah pagar itu terlihat begitu usang?

Kita hidup seimbang. Keburukan itu diimbangi kebaikan, bukan sebaliknya menyeimbangkan kebaikan dengan kekhilafan. Aku tak bisa tahu jika keburukan yang pertama adalah momentum untuk keburukan selanjutnya. Yang lebih menakutkan ketika buruknya tak bisa dibalikkan kembali. Tetapi aku sangat penasaran jika kebaikan pertama menjadi tangga kebaikan selanjutnya.

Syukur. Aku harus tetap ingin di celah lembah itu.

Sabtu, 08 Januari 2011

Takutku.

Aku takut sekali. Gelap rasanya inginkan mataku. Gerak geliat ini begitu aneh. Melihat ragaku berbuat. Melihat mataku melempar pandang. Melihat gerik kedua tanganku. Melihat kaki-kaki ini berayun. Aku takut melihat diriku. Aku takut akan disiksa. Tak pernah berniat kubayangkan. Ngeri.

Rabb, kasih sayangmu tak pernah putus aku harap-harap. Engkau tak pernah butuhkan aku. Tapi aku selalu pernah butuhkan Engkau. Pengampunan-Mu cita-cita besarku. Syurga-Mu itu begitu megah. Aku ingin kesana.



*di bawah bayang-bayang maksiat, aku selalu berharap.

Sabtu, 01 Januari 2011

Mungkin engkaulah yang akan gantikan!

"Dalam sepucuk kertas aku sampaikan kekesalanku. Kekecewaan mendalam persis jatuh ke lubang yang sama. Lubang yang dahulu pernah aku selami dalam hati. Mengapa mereka bertindak seperti itu lagi? Tidakkah mereka tahu hati yang terkikis perih di dalam sini? Aku tak tahan dengan kekecewaanku sendiri. Ah. Selamat tinggal. Mereka memang pernah ku kagumi. Sering kubanggakan dalam cerita-cerita heroik ku. Sekarang sinar kilaunya tak seterang dulu. Ah. Bukan aku yang buat jadi begitu."

Fenomena antiklimaks dari sebuah kekaguman buta. Rasanya selalu pernah kita rasakan hal seperti itu. Sering kita membanggakan hal yang buat kita terpukau. Apalagi saat membanggakan seseorang yang berarti dalam sejarah hidup kita. Mereka bak kisana yang menolong kita rakyat jelita. Mereka mungkin tak kenal kita, tetapi alangkah lucunya kita, mati-matian mengenal mereka. Seolah-olah kita hidup dalam rumahnya.

Gelombang laut tak selalu pasang, adakalanya surut. Rasanya begitu juga pada mereka yang kita elukan. Mereka tak selalu setia dengan angan-angan besar kita. Mereka punya salah dan dosa. Mereka juga ternyata punya lubang-lubang kehinaan. Noda-noda hitam inilah yang sering kita salah lihat. Bintik hitam terlihat seperti bulan tanpa cahaya. Gelap dan bulat besar. Yang lebih unik, lubang hitam itu jarang sekali kita tutupi. Terlebih lagi untuk diperbaiki.

Sesungguhnya wajar sekali. Mungkin mereka terlalu terang bagi kita. Alasan itu yang buat titik kecil hitam itu begitu terlihat. Atau mungkin kita terlalu megah melihat mereka. Setiap waktu selalu kita banding-bandingkan dengan diri kita. Saat muncul,noda kehinaan itu seolah merembes pada baju-baju mereka. Dan kebencian muncul akibat ego kita yang ingin mereka sempurna!

Oh. Sungguh dahsyat kita perlakukan mereka. Padahal bisa jadi mereka menunggu-nunggu kita untuk gantikan mereka. Karena mereka yakin bahwa Allah akan selalu gantikan yang lebih baik.

Sang Surya.

Sang surya, tak perlu tenggelam. Mungkin mereka butuh kau tetap hadir. Surya cahaya, tak perlu merasa gelap. Kaulah yang harus curiga. Jangan-jangan engkau lah yang tuhan minta. Jadilah cahaya mereka.

Sang surya, tak perlu redup. Lemas bukan jawaban. Kau hanya perlu lakukan. Kebenaran bukan layak dari engkau. Kau hanya sampaikan.

Sang surya, tak perlu marah. Kelembutan masih mau menunggu. Kecintaan masih mau merayu. Mereka tak buat kau layu.

Sang surya, tak perlu cemas. Apatah orang bilang tak pantas? Ah, cuma begitu. Kau masih lupa dengan sejarah?

Sang surya, kaulah yang ditunggu.