Sabtu, 29 Januari 2011

Belajar pada Air Mata

Kami hidup berawal dari menangis. Jerit sekali. Seperti embik yang kehilangan rumput. Tapi begitulah kami memulai hidup. Mencintai dengan menangis. Membenci pula dengan menangis. Ah. Kami tidak sedang membuat hujan. Tapi begitulah kami.

Mari belajar pada air mata. Karena mereka tidak mau sekedar turun dan menetes. Ada yang ingin disampaikan. Mereka meresap dalam sanubari yang bergejolak. Mereka menyejukkan jiwa yang terlunta luka akibat aliran emosi yang menyengat. Menumbuhkan bunga-bunga kecil yang indah. Yang melambai-lambaikan kalimat kesopanan. "Bergegaslah setelah tangisanmu ini. Bergembiralah."

Rabu, 19 Januari 2011

Allah, Mohon Ridhoi.

Dahulu aku berenang-renang tenggelam dalam perut ibunda. Huh. Penantianku panjang. Hampir satu tahun. Tak pernah kurasakan nafas udara disana. Apalagi pegal. Namun aku lemah. Tapi ibunda melindungi. Dan aku pula tak pernah tahu dan sadar ketika ku keluar belitan masalah sudah siap membentang. Beruntung jika mereka muncul di sana. Banyak sekali masalah bisa datang sebelum itu.

Aku keluar tak punya apa-apa. Apalagi daya. Sekali lagi, ibunda melindungiku. Ah. Andai beragam kata telah kupunyai saat itu. Ucapku, Allah Maha Besar. Telah turunkan pahlawan bagi semua calon pahlawan. Telah karuniakan cinta dan kasih sayang lewatnya. Telah tanamkan nikmat kehidupan bagi kami berdua. Segala puji untuk-Nya.

Ibunda. Puisi untukmu sudah banyak sekali. Bahkan ribuan. Doa untukmu juga tidak kalah. Bahkan setiap waktu. Wajar sekali, Ibunda. Wajar. Puisi bagi seorang pujangga adalah ungkapan dalam dari lubuk jiwa. Doa juga adalah pamungkas seseorang untuk larut dalam tangisan. Lagi-lagi juga perasaan. Hati jadi banyak bicara. Ketika mulut tak mampu, tangan tak kuasa. Cinta berwujud bukan mainan. Ini pekerjaan yang sesungguhnya. Begitulah, ibunda.

Ibunda. Tangisanku waktu kecil pasti buatmu begitu kesal. Apalagi aku menangis tak sendirian. Kembaranku pun menangis di saat yang bersamaan. Aku bayangkan tangisan kami seperti alunan melodi musik kasar. Aku malu. Karna cuma itu cara aku khawatir kehilangan kasih sayangmu.

Ibunda. Kini aku telah beranjak usia kepada dua. Umurku sudah lebih 20 tahun. Aku berpikir untuk terlepas. Tetapi engkau masih anggapku asuhan yang masih akan hilang jika dilepas. Aku tidak masalah. Aku tahu keterbatasanku. Aku juga tahu kasih sayangmu. Tapi inilah kesempatanku memilih menjadi dewasa. Aku ingin cepat-cepat membalas semua yang telah engkau lakukan. Ya. Kebahagianmu itu bahagiaku. Allah, mohon ridhoi.

Minggu, 16 Januari 2011

Touring D'West Java


Kedua tangan menggenggam besi berjalan. Sepasang mata selalu memandang sekitar jalan. Berlalu lalang kendaraan di kanan kiri. Gunung-gunung bak mengawasi laju kami dalam perut mereka. Pepohonan bersautan menyambut. Hingga ombak-ombak berlari berlomba ke pantai, berdesir keras memecah. Sambutan badai pun tak mau ketinggalan cerita. Subhanallah, Indah. Syukur.

Cerita perjalanan yang luar biasa. Hampir-hampir isi pena akan habiskan puluhan lembar cerita drama untuknya. Lengkap. Sangkaan kami dibalas dengan dahsyat. Allah berikan pandangan nyata kebesaran-Nya. Gunung, bukit, lautan, dan telaga. Angin, ombak, hujan, dan tanah. Lelah memang hadapi mereka. Namun ganjarannya lebih dinikmati. Betapa agungnya Engkau.

Salah satu yang menarik adalah perjalanan menelusuri hamparan bukit di dekat pantai selatan. Aku tak tahu persis letak bukit itu. Yang aku tahu hanyalah rentang panjang jalannya yang mencapai puluhan kilometer. Atau bahkan ratusan. Jalan lurus nan halus cuma mau ambil bagian kecil di sana. Malah lika-liku dan lubang-lubang jalan yang bertebaran luas. Tetapi sekali lagi, mata kamera takkan mampu menikmati seindah pandangan dua bola mata ini. Sensasional.

Setidaknya kami belajar tentang ketakutan. Sehingga kami tahu saat keberanian muncul sebagai pahlawan. Pengalaman berharga Allah berikan kepada banyak orang. Namun hikmahnya hanya ditangkap oleh segelintir darinya. Kami belajar untuk itu.

Kamis, 13 Januari 2011

Straight Forward!

Bagai berjalan dalam celah lembah. Melihat sekitar hanyalah tembok batu yang gagah. Tidak ada pilihan untuk maju lurus tanpa berbelok. Jika terantuk, benturan jadi mengingatkan. Tak kuasa tahu apa yang ada dibalik batu. Yang tahu hanya batu.

Tapi jalan bukan tak berujung. Selalu ada rerumputan yang menunggu di depan. Selalu ada laut luas yang siap terbentang di mata. Indahnya bukan di benak. Hanya ada dalam rahasia-Nya.

Begitu juga dengan kita. Kita selalu merasa terkungkung dengan apa yang telah diatur oleh-Nya. Keluhan selalu terurai dalam cemoohan jika ada yang mencoba tegakkan. Ya begitulah nasib aturan itu. Punya kesan ekstreme dan kaku.

Aku cuma tidak habis pikir. Banyak sekali orang ingin keluar dari pagar-pagar-Nya. Kondisi selalu jadi tameng. Ketidakmampuan jadi peringan. Ketidaktahuan malah jadi kambing hitamnya. Apakah pagar itu terlihat begitu usang?

Kita hidup seimbang. Keburukan itu diimbangi kebaikan, bukan sebaliknya menyeimbangkan kebaikan dengan kekhilafan. Aku tak bisa tahu jika keburukan yang pertama adalah momentum untuk keburukan selanjutnya. Yang lebih menakutkan ketika buruknya tak bisa dibalikkan kembali. Tetapi aku sangat penasaran jika kebaikan pertama menjadi tangga kebaikan selanjutnya.

Syukur. Aku harus tetap ingin di celah lembah itu.

Sabtu, 08 Januari 2011

Takutku.

Aku takut sekali. Gelap rasanya inginkan mataku. Gerak geliat ini begitu aneh. Melihat ragaku berbuat. Melihat mataku melempar pandang. Melihat gerik kedua tanganku. Melihat kaki-kaki ini berayun. Aku takut melihat diriku. Aku takut akan disiksa. Tak pernah berniat kubayangkan. Ngeri.

Rabb, kasih sayangmu tak pernah putus aku harap-harap. Engkau tak pernah butuhkan aku. Tapi aku selalu pernah butuhkan Engkau. Pengampunan-Mu cita-cita besarku. Syurga-Mu itu begitu megah. Aku ingin kesana.



*di bawah bayang-bayang maksiat, aku selalu berharap.

Sabtu, 01 Januari 2011

Mungkin engkaulah yang akan gantikan!

"Dalam sepucuk kertas aku sampaikan kekesalanku. Kekecewaan mendalam persis jatuh ke lubang yang sama. Lubang yang dahulu pernah aku selami dalam hati. Mengapa mereka bertindak seperti itu lagi? Tidakkah mereka tahu hati yang terkikis perih di dalam sini? Aku tak tahan dengan kekecewaanku sendiri. Ah. Selamat tinggal. Mereka memang pernah ku kagumi. Sering kubanggakan dalam cerita-cerita heroik ku. Sekarang sinar kilaunya tak seterang dulu. Ah. Bukan aku yang buat jadi begitu."

Fenomena antiklimaks dari sebuah kekaguman buta. Rasanya selalu pernah kita rasakan hal seperti itu. Sering kita membanggakan hal yang buat kita terpukau. Apalagi saat membanggakan seseorang yang berarti dalam sejarah hidup kita. Mereka bak kisana yang menolong kita rakyat jelita. Mereka mungkin tak kenal kita, tetapi alangkah lucunya kita, mati-matian mengenal mereka. Seolah-olah kita hidup dalam rumahnya.

Gelombang laut tak selalu pasang, adakalanya surut. Rasanya begitu juga pada mereka yang kita elukan. Mereka tak selalu setia dengan angan-angan besar kita. Mereka punya salah dan dosa. Mereka juga ternyata punya lubang-lubang kehinaan. Noda-noda hitam inilah yang sering kita salah lihat. Bintik hitam terlihat seperti bulan tanpa cahaya. Gelap dan bulat besar. Yang lebih unik, lubang hitam itu jarang sekali kita tutupi. Terlebih lagi untuk diperbaiki.

Sesungguhnya wajar sekali. Mungkin mereka terlalu terang bagi kita. Alasan itu yang buat titik kecil hitam itu begitu terlihat. Atau mungkin kita terlalu megah melihat mereka. Setiap waktu selalu kita banding-bandingkan dengan diri kita. Saat muncul,noda kehinaan itu seolah merembes pada baju-baju mereka. Dan kebencian muncul akibat ego kita yang ingin mereka sempurna!

Oh. Sungguh dahsyat kita perlakukan mereka. Padahal bisa jadi mereka menunggu-nunggu kita untuk gantikan mereka. Karena mereka yakin bahwa Allah akan selalu gantikan yang lebih baik.

Sang Surya.

Sang surya, tak perlu tenggelam. Mungkin mereka butuh kau tetap hadir. Surya cahaya, tak perlu merasa gelap. Kaulah yang harus curiga. Jangan-jangan engkau lah yang tuhan minta. Jadilah cahaya mereka.

Sang surya, tak perlu redup. Lemas bukan jawaban. Kau hanya perlu lakukan. Kebenaran bukan layak dari engkau. Kau hanya sampaikan.

Sang surya, tak perlu marah. Kelembutan masih mau menunggu. Kecintaan masih mau merayu. Mereka tak buat kau layu.

Sang surya, tak perlu cemas. Apatah orang bilang tak pantas? Ah, cuma begitu. Kau masih lupa dengan sejarah?

Sang surya, kaulah yang ditunggu.