Sabtu, 18 September 2010

Terbalik

Jika kita pernah merasa senang, maka sebenarnya kita pernah merasa apa itu kesedihan.
Jika kita pernah merasa hebat, maka sebenarnya kita pun pernah merasa lemah.
Jika kita pernah merasa kaya, maka sebenarnya kita juga tahu bagaimana rasanya tidak memiliki apapun.

Maka, bersyukurlah hidup kita tidak penuh dengan apa yang kita sebut senang, hebat, mau...

Rabu, 08 September 2010

Bagaimana Proses Akhir Kehidupan Manusia?

Tajuk di atas bukanlah sesuatu yang asing didengar oleh kita. Dalam berbagai kajian keilmuan telah menghasilkan berbagai definisi pula tentang bagaimana proses akhir kehidupan manusia, atau yang sering kita sebut kematian, khususnya bila ditinjau dari segi ilmu kedokteran terkini. Hal yang berbeda di sini adalah pembahasannya yang mengkombinasikan antara ilmu kedokteran modern dengan ilmu syariat islam. Pembahasan ini mengambil peran dokter sebagai orang yang paling kompeten dalam melihat proses kehidupan hingga kematian seseorang secara ilmiah dan badaniyah dengan menyandingkan peran para ulama syariat dalam menentukan dasar-dasar, batas-batas, dan syarat-syarat umum yang dapat dilakukan oleh seorang muslim dokter di dalam menjalankan profesinya. Latar belakang yang paling mendasari kajian dengan tema semacam ini adalah adanya hukum yang berkenaan dengan masalah kematian seseorang baik sebelum maupun sesudahnya.

Tidak dapat dipungkiri, pembahasan tentang batas akhir kehidupan manusia terlihat lebih sulit dibandingkan dengan batas awal kehidupan manusia dikarenakan nash dari Al Quran dan hadits yang tidak sejelas saat menjelaskan mengenai landasan ilmu awal sebuah kehidupan. Sudah kita ketahui bahwa proses awal pembentukan manusia itu dengan gamblang Allah SWT jelaskan dalam Al Quran (Al Hajj : 5) dan Rasul jelaskan pula dalam sabda beliau, “Sesungguhnya kejadian seseorang itu dikumpulkan di dalam perut ibunya selama empat puluh hari. Setelah genap empat puluh hari kedua terbentuklah segumpal darah beku. Manakala genap empat puluh hari ketiga berubahlah menjadi segumpal daging. Kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh serta memerintahkan supaya menulis empat perkara, yaitu ditentukan rezeki, waktu kematian, amalnya dan nasib baiknya atau buruknya.” (Al Hadits Ibnu Ma’sud). Berbeda halnya dengan proses akhir kehidupan seorang manusia yang tidak memiliki nash yang jelas dan langsung sehingga nash yang digunakan banyak diambil dari proses awal kehidupan manusia itu sendiri.

Acuan Pembahasan

Dasar pembahasan dan gambaran peran ulama sebagai ilmu dasar pembahasan ke depan diadopsi dari referensi buku “Fiqih Kedokteran” karya Dr. M. Nu’aim Yasin. Acuan yang digunakan ada dua, pertama adalah bahwa akhir kehidupan manusia adalah kebalikan dari awal hidupnya yang tersirat adanya keterkaitan antara roh dan jasad di sana sehingga kita sepakat bahwa akhir hidup adalah perpisahan antara roh dan jasad. Acuan kedua adalah bahwa roh merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT yang memungkinkan bagi manusia untuk membahas ciri-ciri, sifat-sifat, aktivitas, pengaruhnya terhadap jasad, perannya dalam jasad, waktu bertemu dan waktu berpisahnya dengan jasad. Dalam acuan yang kedua, tidak dapat dipungkiri ada sedikit pertentangan dari beberapa kalangan yang mendasarkan surat Al Isro ayat 85, “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah, Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (QS 17 : 85), sebagai alasan untuk tidak membahas masalah yang berkenaan dengan roh. Namun, di sini kita mengambil jalur pertengahan yaitu membahas roh bukan dari hakikat dzat-nya melainkan dari aspek selain itu sebab sebagian ulama sepakat dengan mendasari bahwa Rasulullah SAW juga telah banyak menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan roh seperti awal pertemuannya dengan jasad, kelembutannya, perkenalannya, dan sebagainya. Acuan yang digunakan tersebut memungkinkan kita untuk membahas tentang tema yang telah ditawarkan di atas.

Pembahasan akan dimulai dari peran yang dilakukan para ulama syariat dalam menggambarkan roh dan hubungannya dengan jasad, serta makna hidup dan mati.

Peran Ulama Syariat

Beberapa ulama banyak menjelaskan hubungan antara roh dan badan manusia. Berikut kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan ijtihad mereka.
• Menurut pandangan mereka bahwa manusia terdiri dari jasad dan roh, dan tidak disebut manusia jika hanya memiliki salah satu unsur saja tanpa yang lainnya.
• Bahwa jasad adalah tempatnya roh di dunia ini selama masa hidup tertentu bagi manusia.
• Bahwa ilmu, pengetahuan, perasaan, dan pilihan adalah di antara tugas roh yang paling penting.
• Bahwa tugas jasad dengan segala anggotanya adalah mengabdi kepada roh dan menjalankan perintahnya dan tidak ada tugas lain baginya dalam kehidupan ini.
• Bahwa tugas-tugas roh bisa dijalankan melalui perantara jasad di satu sisi, dan di sisi lain dapat pula dijalankan tanpa perantaranya.
• Jasad manusia tidak bisa menjalankan aktivitas pilihan di dunia ini tanpa perintah dari roh. Dan segala sesuatu yang bersumber dari roh berasal dari dari ketetapan Allah SWT.
• Kematian artinya perpisahan antara roh dengan jasad dan itu terjadi pada manusia manakala jasad tidak mampu menjalankan perintah roh.
• Adanya rasa, pengetahuan, ataupun tindakan pemilihan sekecil apapun menunjukkan adanya roh di dalam jasad. Dan dengan tidak adanya tanda-tanda tersebut sama sekali menunjukkan roh yang sudah terpisah dengan jasad.
• Adanya gerakan refleks saja tidak ada maknanya dan hanya seperti kehidupan hewani yang tidak mempunyai roh.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, peran terbesar ulama adalah dalam menentukan suatu dzat yang tidak menjadi medan bahasan bagi ahli kedokteran, yaitu ruh. Sebuah makhluk yang ternyata menjadi pusat pimpinan dalam tubuh manusia menurut para ulama. Jasad tidak berkehendak melainkan ruh yang mengendalikan. Maka bila ruh itu telah terpisah dari jasad, dapat kita sebut manusia itu telah mati.
Namun tidak ada salahnya jika kita melihat dan membandingkannya dengan meninjau kajian tersebut dari sisi kedokteran modern.

Peran Para Ahli Kedokteran

Jasad manusia yang terlihat dan tampak secara wujud, atau yang biasa kita sebut tubuh manusia, merupakan medan bahasan para ahli kedokteran mulai dari konsep secara biomolekuler sampai ke dalam system organ yang saling berkorelasi satu sama lain. Kajian ini tidak ada tujuan lain kecuali agar tubuh manusia dapat tetap sehat sehingga dapat berfungsi normal sebagaimana mestinya. Bisa jadi, inilah salah satu yang membuat peran seorang dokter itu mulia.

Di antara kajian secara ilmiah dalam bidang kedokteran, ada suatu organ yang ternyata memiliki karakteristik sebagai pusat pimpinan penggerak dari tubuh manusia. Organ tersebut adalah otak. Selain sebagai pusat pengendali organ-organ motorik untuk berfungsi dan organ-organ sensori untuk menerima rangsangan dari lingkungan, otak juga memiliki beberapa struktur yang berfungsi dalam pengolahan informasi, penyimpanan memori, serta emosi. Ditemukan pula bahwa rasa takut, cemas, bahagia, senang, marah, itu juga merupakan hasil dari aktivitas otak. Tingkat kesadaran seseorang hingga pengaturan aktivitas pernapasan juga diatur oleh otak. Maka wajar jika otak ini sakit ataupun rusak, maka dapat menyebabkan fungsi tubuh yang lain juga terganggu atau bahkan dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itulah, kematian bagi profesi dokter adalah kematian otak, atau kematian batang otak yang dibuktikan dengan tidak adanya respon otak terhadap lingkungan seperti refleks pupil.
Jadi, peran para ahli kedokteran bagi kajian ini adalah mendefinisikan dan menentukan segala hal yang berkenaan tentang jasad, yang telah disebutkan pula pada kajian para ulama. Hal ini tentunya dikaitkan dengan masalah menentukan telah mati atau belumnya seorang manusia yang menjadi pertanyaan utama dari tema di atas.

Kombinasi Antara Kajian Ulama dan Kajian Kedokteran

Sepintas, bagi pembahas yang tergesa-gesa akan melihat hal di atas sebagai kedua hal yang bertentangan. Bagi para ulama, roh sebagai pusat kehidupan manusia. Sedangkan bagi ahli kedokteran, otak menjadi pusatnya. Sehingga dalam menentukan akhir kehidupan manusia, wajar jika manusia memilih untuk melihatnya dari yang berwujud dan terlihat. Ini merupakan pandangan yang materialistis. Melihat berbagai hal dalam pandangan yang berbentuk materi sebagai akhir dan pusatnya.

Dalam kajian ini, marilah kita melihat dari pribadi serta prinsip-prinsip keislaman kita. Ada satu konsep yang penting di sini bahwa tidak ada suatu yang abstrak yang dihasilkan dari sesuatu yang bersifat materi. Perasaan marah, benci, senang, kesemuanya adalah hasil yang bersifat abstrak. Sedangkan otak adalah suatu hal yang bersifat materi. Maka logisnya tidak mungkin dzat yang bernama “perasaan” itu merupakan hasil dari aktivitas otak, sebab sampai saat ini pun para ahli kedokteran hanya dapat melihat perubahan aktivitas otak (neurotranstmitter) akibat dari berubahnya perasaan itu sendiri. Tidak ada yang dapat mendefinisikan secara jelas dan nyata tentang sesuatu yang bernama “perasaan”. Hal itu sebenarnya membuktikan bahwa sesungguhnya roh itu ada. Namun ia tidak dapat diukur, sebab Allah SWT tidak menganugrahkan manusia pengetahuan tentang hakikat roh itu sendiri.

Maka logis jika hasil pemaduan di antara keduanya adalah bahwa otak adalah perantara bagi roh untuk mengatur segala aktivitas dari jasad. Rohlah yang mengetahui berbagai macam pengetahuan sehingga membutuhkan otak sebagai perantara untuk belajar dan menangkap berbagai informasi. Rohlah yang mengatur segala gerakan jasad yang berkehendak sehingga otak pula yang menjadi perantara agar organ-organ tubuh yang lain dapat bergerak sesuai dengan fungsinya. Hingga sampai kepada kesimpulan bahwa bila otak tersebut rusak dan mati maka roh tidak mampu membuat perintah kepada otak sehingga roh akan diambil dari jasad oleh malaikat maut, yang bahasan ini bukanlah area untuk dibahas di sini. Aktivitas otak yang mati itulah yang dijadikan para ahli kedokteran dalam menentukan waktu serta tanda-tanda kematian seseorang. Hingga saat itulah batas akhir kehidupan manusia dapat didefinisikan.

Proses yang dibahas di atas bukanlah sesuatu yang mutlak. Hal ini disebabkan prasangka-prasangka yang dominan dalam mendefinisikan temuan tersebut. Kajian ini pun tidak dapat secara detail menjelaskan bagaimana menentukan kematian seseorang hingga teknisnya. Namun setidaknya, kode etik (akhlak) dapat diberlakukan secara legal di sini dengan melihat hasil dari kajian tersebut sebab proses kematian seseorang bukanlah sesuatu yang hanya menyangkut matinya materi (otak) melainkan juga hilangnya materi abstrak (roh) yang hakikatnya adalah ciptaan Allah SWT. Wallahua’lam.